Friday 25 June 2010

Ibu Rani Dosenku

Proses asistensi dengan Ibu Rani sangat mengasyikan, sebab selain beliau berwawasan luas, aku juga disuguhkan kemolekan tubuh dan wajah beliau yang diam-diam kukagumi. Makanya dibanding teman-temanku termasuk rajin berasistensi dan progres gambarku lumayan pesat. Setiap asistensi membawa kami berdua semakin akrab satu sama lain. Bahkan suatu saat, aku membawakan beberapa kuntum bunga aster yang kutahu sangat disukainya. Hingga... pada saat kejadian. Suatu malam aku asistensi sedikit larut malam dan beliau memang masih ada di kantor pukul 8 malam itu. Yang pertama terlihat adalah mata beliau yang indah itu sedikit merah dan sembab. "Wah, saat yang buruk nih", pikirku. Tapi dia menunjuk ke kursi dan sedikit tersenyum jadi kupikir tak apa-apa bila kulanjutkan. Setelah segala proses asistensi berakhir aku memberanikan diri bertanya, "Ada apa Bu? Kelam menyelimuti lagi wajahnya meski berusaha disembunyikannya dengan senyum manisnya. "Ah biasalah Rez, masalah." Ya sudah kalau begitu aku segera beranjak dan membereskan segala kertasku. Dia terdiam lama dan saat aku telah mencapai pintu, barulah... "Kaum Pria memang selalu egois ya Reza?" Aku berbalik dan setelah berpikir cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan bertanya hati-hati. "Kalau boleh saya tahu, kenapa Ibu berkata begitu? Sebab setahu saya perempuan memang selalu berkata begitu, tapi saya tidak sependapat karena certain individual punya ego-nya sendiri-sendiri, dan tidak bisa digolongkan dalam suatu stereotype tertentu." "Kamu pasti sudah punya pacar ya Reza?" "Eh eh eh", aku gelagapan. Iya sih emang, bahkan ada beberapa, namun tentu saja aku tak akan mengakui hal tersebut di depannya. "Nggak kok Bu... belum ada... mana laku aku, Bu..." balasku sambil tersenyum lebar. "Huuu, bohong!" teriaknya sambil dicubitnya lengan kiriku. "Cowok kayak kamu pasti playboy deh... ngaku aja!" Aku tidak bisa menjawab, kepalaku masih dipenuhi fakta bahwa beliau baru saja mencubit lenganku. Ugh, alangkah berdebar dadaku dibuatnya. Beda bila teman wanitaku yang lain yang mencubit. Larut malam telah tiba dan sudah waktunya beliau kuantar pulang setelah menikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Daerah Dago Pakar tujuannya dan saat itu sudah jam satu malam ketika kami berdua mencapai gerbang rumah beliau yang eksotik. "Mau nggak kamu mampir ke rumahku dulu, Rez?" ajaknya. "Loh apa kata Bapak entar Bu?" tanyaku. "Ah Bapak lagi ke Kupang kok, penelitian." Hm... benakku ragu namun senyum manis yang menghiasi bibir beliau membuat bibirku berucap mengiyakan. Aku mendapati diriku ditarik-tarik manja oleh beliau ke arah ruang tamu di rumah tersebut akan tetapi benakku tak habis berpikir, "Duh ada apa ini?" Sesampainya di dalam, "Sst... pelan-pelan ya... Detty pasti lagi lelap." Kami beringsut masuk ke dalam kamar anaknya dan aku hanya melihat ketika beliau mengecup kening putrinya yang manis itu pelan. Kami berdua bergandengan memasuki ruang keluarga dan duduk bersantai lalu mengobrol lama di sana. Beliau menawarkan segelas orange juice. "Aduh, apa yang harus aku lakukan", pikirku. Sambil matanya mendelik, menahan nafas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Tina membimbing dengan memegang batang kemaluanku, "Hmm... Rez? jangan ragu sayang..." Dengan mantap aku menghentakkan pinggulku ke depan agar Tina menjerit. Loh sepertiganya telah amblas ke dalam. Hangat, basah, ketat sangat sensasional. Pinggang kugerakkan ke kiri dan ke kanan. Sementara Tina kepedasan dan air matanya sedikit mengintip dari ujung matanya yang berbinar "Kenapa sayang?" tanyaku. "Nggak pa-pa Rez... terusin aja sayang... Aku adalah milikmu, semuanya milikmu..." "Sungguh..." "Shhs sayang Tina... jangan dulu ya sayang ya..." "Shhh... Reza... nggak tahan aku... Reeez... shhhh..." "Cup cup... kalem sayang..." kukecup lembut matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya. Tina mereda, aku berhenti. "Reza... kamu tega ih..." Tina cemberut sambil menarik-narik bulu dadaku. "Sshhh sayangku... biar aja, entar kalo udah meledak pasti nikmat deh... minum dulu yuk sayang..." "Minum sayang..." dia memberengut dan minum dengan cepat. "Ayo Reza... jangan jahat dong..." Dengan satu gerakan cepat aku menyelipkan diri di antara kedua kakinya seraya membelainya cepat dan meletakkan kemaluanku ke perbukitan yang ranum itu. Cairan putih yang kental terlihat meleleh keluar. Denyut-denyut itu masih terasa, membelai kemaluanku dan menidurkannya dalam kelemasan dan ketentraman yang damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Tina dengan gemas. Tina membalas menjewer kupingku, meski masih dalam tindihan tubuhku. "Reza sayang... kamu bandel banget deh... gimana kalo Rian tahu nanti Rez..." "Iya... dan gimana Vina-ku ya?" dalam hatiku. Ironisnya lagi, kami selalu melakukannya berulang-ulang setiap ada kesempatan. Bagai tak ada esok, dengan berbagai gaya dan cara tak puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di kasur, di bath tub, bahkan di kedinginan malam teras belakang paviliun sambil tertawa cekikikan. Rasa khawatir ketahuan yang diiringi kenikmatan tertentu memacu adrenalin semakin deras, yang segalanya membuat gairah. Segera aku keluar dan mencari Ibu Rani. Beliau sedang berada di dapur mencoba membuatkan secangkir teh panas untukku. Aduuh, aku sedikit terharu. Dengan beringsut aku mendekatinya dan merangkul beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepis tubuhku dan menjauh. "Reza... kamu pikir kamu bisa seenaknya saja begitu." Aku terdiam. "Saya minta maaf Bu, waktu itu saya pergi karena Reza tak sanggup Bu... Ibu, orang yang paling saya hormati dan sayangi, mungkin Reza butuh waktu, Bu..." sambil berkata demikian aku mendekatinya dan memegang pundak kanan beliau dan memberi sedikit pijatan lembut. Beliau tergetar dan tampak sedikit melunak. Aku mendekat lagi, "Ibu mau maafin Reza?" sambil kutatap tajam matanya, kemudian perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajah ayu sang ibu. "Tapi Rez..." Beliau kelihatan bingung, namun kecupan lembutku telah bersarang lembut pada keningnya. Kurengkuh Rani yang ranum itu dalam pelukanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yang merah merekah itu. Nafas Rani sedikit memburu dan bibirnya merekah terbuka. Semula sedikit pasif ciuman yang kuterima, kemudian lidahku menelusup ke dalam dan menyentuh giginya yang putih, mencari lidahnya. Getar-getar yang dirasakannya memaksa Rani untuk memerima lidahku dan saling bertautlah lidah kami berdua, menari-nari dalam kerinduan dan rasa sayang yang sulit dimengerti. "Jangan di sini Rez, Tuti bisa datang kapan saja." Kutebak Tuti adalah nama pembantu mereka. "Bapak?" "Ah biarkan saja dia", kata dosen pujaanku itu. Ditariknya tanganku ke arah kamarnya yang mereka rancang berdua. "Buu... Bapak di mana?" Wanita matang yang luar biasa cantik itu berbalik bertanya, "Kenapa, kamu takut? Pulang sana, kalau kamu takut." "Kenapa? Aku cantik kan?" Rani bergerak gemulai seolah sedang menari, duh Gusti... cantik sekali. Ia mengenakan daster panjang berwarna light cobalt yang menerawang. Saat itu cukup remang karena hujan deras dan cuaca dingin, namun rambut Rani yang indah tergerai wangi tampak jelas bagiku. Kucium dan kubelai rambutnya sambil kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yang selalu dibalasnya dengan... gombal, bohong dan cekikikan yang menggemaskan. Aku semakin sayang padanya. Aku ingin begini terus selamanya, mendekap wanita yang kusayangi ini sepanjang hayatku kalau bisa, tapi nuraniku berbisik bahwa aku tidak dapat melakukannya. Akhirnya kuliahku telah usai dan nilai yang memuaskan telah kuraih, wisuda telah lama lewat, dan sekarang aku telah menjadi entrepeneur muda.

No comments:

Post a Comment