Friday 25 June 2010

Istri Muda Sekdes

Kejadian ini kualami ketika aku kuliah kerja nyata di salah satu desa terpencil di Jawa Tengah. Aku menginap di rumah Sekretaris Desa tersebut, sudah berumur, sekitar 60 tahun, namun isterinya masih muda, sekitar 25 tahun, sebut saja Mbak Is. "Ada apa Dik Agus?" tanyanya dengan suara lembut. "Anu Mbak, nggak. Lihat celana pendek saya nggak, Mbak.." "Baru dicuci. Ditumpukan itu barangkali, coba saja dicari sendiri Dik Agus," jawabnya sambil menunjukkan onggokan cucian. Sementara aku mengaduk-aduk cucian, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tentu saja payudara dan kemaluannya, walaupun dari samping, cukup jelas terlihat olehku. Mulanya aku agak tidak enak, tetapi karena Mbak Is bersikap cuek, maka aku pun nekad menatap secara langsung pamandangan itu dengan berani. "Tubuh Mbak Is, masih singset ya," pujiku mesra. "Ah, Dik Agus bisa aja," katanya dengan tenang, tetapi kemudian ia tersentak, "Eh, kok liat-liat Mbak, kan saru," bisik Mbak Is membuyarkan lamunanku. "Habis, rejeki kan tidak bisa dibiarkan," kataku nyengir. "Uh, dasar.." kemudian ia cepat-cepat mamakai pakaian. Jam 8 malam, karena tidak ada hiburan TV, dan suasana sudah sangat sepi, aku pergi tidur. Pak Sekdes kebetulan sedang menginap di rumah isteri tuanya. Lampu minyak tempel kuredupkan, dan bersiap untuk memejamkan mata. Tiba-tiba ada orang masuk ke kamarku. Setelah kuamati bayangan itu ternyata Mbak Is. "Dik Agus belum tidur ya," sapanya mesra. "Belum mbak," sahutku. "Mbak Is kedingingan nih, nggak bisa tidur," balasnya dan duduk di tepi tempat tidurku. "Tidur di sini saja Mbak," ajakku penuh birahi. "Nggak apa-apa nih," balasnya dengan senyum menggoda. "Nggak," bisikku. "Tapi jangan macam-macam ya," katanya sambil tertawa genit. Kugeser tubuhku ke kanan memberikan ruang bagi Mbak Is berbaring di sampingku. Mulutku terkunci lagi, karena gejolak yang sangat hebat berkecamuk di dalam dada ini ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau parfumnya membuatku semakin bergejolak. "Dik Agus sudah pernah melihat perempuan telanjang nggak," akhirnya Mbak Is membuka percakapan. "Belum, kalau anak-anak sering, eh maksud saya baru sekali, lihat Mbak tadi.." "Apa Mbak masih singset sih?, khan Dik Agus bilang begitu tadi," tanyanya manja. "Iya betul Mbak, betul, seperti di gambar porno saja," jawabku. "Dik Agus punya foto begituan." "Punya, sebentar ya saya ambilkan.." Kuambil majalah berwarna kategori triple X, kubesarkan lampu minyak di dinding. "Dik Agus dapat dari mana majalah ini," sambil menerima majalah yang kuberikan. "Serem.." komentarnya, tapi matanya terus menatap gambar orang sedang senggama. Pada gambar lain tampak adegan 69, dimana saling menjilati kemaluan lawannya. "Mbak pernah ngisep barangnya Bapak, nggak," tanyaku dengan berani. "Ah, Dik Agus ada-ada saja, jijik ah," jawabnya pura-pura malu. "Enak Mbak, seperti ngisep kemaluan, khan enak," kataku lagi meyakinkan ."Memangnya Dik Agus pernah?" sambil menatap wajahku dalam-dalam, menjadikan aku gelagapan. "Belum, cerita teman-teman saya yang sudah kimpoi. Mbak mau disun kemaluannya," pancingku nakal. "Ah Dik Agus ini ada-ada saja, malu ah," Sambil tangannya menyingkirkan tangan saya yang sudah melingkar di perutnya. Tapi tanganku kembali merangkul tubuhnya, kali ini agak ke atas dekat dengan buah dadanya. "Emang Bapak nggak pernah ngesun barangnya Mbak?" tanyaku. "Ah, Bapak kan sudah tua, nggak mau yang macem-macem," obrolan yang semakin menjurus ini menjadikan kemaluanku makin mengeras, sehingga celanaku terasa semakin sempit. Aku terus mencari akal agar malam itu tidak terbuang sia-sia. Belum sempat aku menemukan caranya, tiba-tiba ia menarik tanganku ke atas sehingga menyentuh buah dadanya yang montok. Aku segera bereaksi dan mulailah mengelus-elus buah dadanya. Kulihat wajahnya sudah berubah, nafasnya memburu, kusingkap gaun tidurnya ke atas, dan ia membiarkannya bahkan melepasnya sendiri. Dan kemudian melepas BH-nya, sehingga buah dada montoknya yang tadi siang kulihat, kini dapat kusentuh, kuelus-elus dan kupencet-pencet kekenyalan buah dadanya. Mbak Is kembali berbaring, bibirnya menyambut dengan hangat ketika kucium Mbak Is. Sambil berciuman tanganku bergerilya, sampai di sekitar kamaluannya. Kuelus pahanya dan akhirnya kemaluannya dari luar celana dalamnya. Mbak Is semakin liar mempermainkan bibirnya dan lidahnya, melumat habis bibirku. Kuselipkan jariku lewat samping celana dalamnya meraih liang senggamanya, ternyata sudah basah kuyup. Bersamaan dengan itu, ia raih pula kemaluanku. Kubantu membuka celanaku dan semua yang menempel di bajuku. Dengan kencang ia terus memegang kemaluanku, seakan sudah menjadikan haknya dan tidak ingin melepaskannya. Sementara aku terus mencium semua permukaan kulitnya. Sampai pada bukit kembarnya, kuisap, kusedot dan kujilati puncaknya hingga membuatnya semakin memburu nafasnya. Begitu kuteruskan jelajahanku ke bawah lepaslah pegangan di kemaluanku, sampai dipusar dan terus ke bawah sampailah di selangkangannya. Kulebarkan pahanya, tetapi dia menahannya."Jangan ah, malu," sambil merapatkan pahanya dan menutupi kemaluannya dengan tangannya.Aku terus menciumi pahanya, menjilati dan mengecupnya. Lama-lama makin ke dalam pahanya. Mbak Is mulai mengendorkan kakinya, kubuka pelan-pelan pahanya. Pelan-pelan pula ia mau membukanya. Sampai akhirnya rela juga mengangkangkan pahanya dengan lebar, sehingga membuatku mempunyai ruang yang jelas untuk menyaksikan pahanya yang putih mulus. Tubuhnya menegang dan pinggulnya diangkatnya tinggi-tinggi. Beberapa detik kemudian terkulailah dia. Mbak Is, mulanya menahan bokongku, agar kemaluanku tetap terselit di lipatan kemaluannya. Tetapi karena tenaganya sudah habis, lepas juga kemaluannya dan kukocok dengan cepat sehingga muncratlah di atas perutnya yang indah. Mbak Is dengan takjub menyaksikan peristiwa muncratnya spermaku. Lalu tersenyum manis. "Kok nggak dikelaurin di dalam," tanyanya. "Nanti kamu hamil," jawabku mesra. "Paling Bapak juga nggak tahu kalau itu anakmu," jawabnya dengan enteng. Sejak saat itu aku jadi jarang pulang, ketika hari Sabtu dan Minggu kupergunakan mencuri-curi waktu agar bisa bermain dengannya. Apalagi kalau sedang sepi. Misalnya tidak ada cukup waktu untuk melakukan senggama, maka ia aku suruh saja mengocok hingga keluar. Sejak itu sepertinya Mbak Is semakin ceria saja. Sampai selesai waktu KKN-ku, aku tidak kurang melakukan senggama secara sempurna sebanyak delapan kali. Tanpa ada seorangpun yang tahu dan curiga. Dan ternyata ini membawa berkah lain, yang paling menonjol adalah cara Mbak Is dalam melayani suaminya yang sepertinya berlebihan.

No comments:

Post a Comment